Pemberdayaan Ekonomi Disabilitas Melalui Asset Based Approach Menuju Kemandirian Usaha

Yogyakarta - Pemberdayaan merupakan suatu tujuan dan proses. Sebagai tujuan, pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian. Sebagai proses, pemberdayaan menunjukan pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sitematis yang mencerminkan tahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun practice menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku sadar dan kecakapan-keterampilan yang baik.

Permasalahan utama yang dihadapi penyandang disabilitas adalah keterbatasan akses terhadap layanan pendidikan yang berujung terhadap tingkat pengetahuan yang dimiliki untuk meningkatkan kemampuan diri dari sudut pandang ekonomi.

Pada titik tertentu pada akhirnya penyandang disabilitas menjadi bagian dari kelompok marjinal. Kelompok marjinal merupakan suatu kelompok sosial tertentu yang memiliki status sosial rendah, terpinggirkan dan terabaikan. Berdasarkan Permensos No. 08 tahun 2012, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar.

Marginalisasi adalah fenomena ketidakseimbangan dalam pemerolehan peluang dalam aspek ekonomi, sosial dan pendidikan oleh sekumpulan masyarakat (Alcock 1993 dalam Murtadlo 2017). Marginalisasi bersumber dari berbagai faktor yang saling berkait dan kompleks. Dampak dari marginalisasi ini, masyarakat menjadi terpinggirkan, miskin dan mendapat peluang yang terbatas akibat ketidakberdayaan mereka dalam beberapa aspek sehingga dianggap tidak memberi kontribusi pada kemajuan suatu negara.

Stigma sosial yang terbangun dalam masyarakat semakin meminggirkan keberadaan penyandang disabilitas dalam perannya terhadap kemajuan suatu negara terutama sektor ekonomi. Oleh karenanya, penyandang disabilitas memerlukan dukungan dalam membangun dan mengembangkan kemampuan atau kreativitas yang dimiliki. Undang-Undang No 8 Tahun 2016 memuat hak-hak peyandang disabilitas dalam hal pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi pada pasal 11, bahwa hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk penyandang disabilitas salah satunya meliputi hak: (h) memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.

Undang-Undang No 8 Tahun 2016 menekankan hak penyandang disabilitas memiliki ruang yang sama dalam pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi penyandang disabilitas perlu dukungan dari segenap pihak agar dapat terwujud tepat dan sesuai dengan dinamika saat ini. Kontribusi penyandang disabilitas bagi kemajuan suatu negara salah satunya melalui profesi wirausaha yang tidak hanya sekedar untuk menambah penghasilan lagi namun juga menjadi penopang utama ekonomi keluarga.

Pemberdayaan dengan menggunakan pendekatan berbasis aset atau asset based approach untuk mendukung penyandang disabilitas perlu dilakukan didasari pemahaman bahwa ketidakberdayaan masyarakat terjadi karena masyarakat tidak memiliki kekuatan. Aset yang dimaksudkan dalam hal ini terkait erat dengan aset manusia. Menurut Sholehah (2017), terdapat beberapa tahap dalam pelaksanaan pendekatan berbasis aset untuk memberdayakan penyandang disabilitas, yaitu:

  1. Mempelajari dan mengatur scenario (define) : Dipelopori oleh komunitas untuk memutuskan lokasi, komunitas dimana proses perubahan akan terjadi. Termasuk dalam pertimbangan tempat adalah menentukan di mana pertemuan awal akan dilakukan
  2. Mengungkap masa lampau (discovery) : Dilakukan pencarian bersama anggota komunitas untuk memahami “apa yang terbaik sekarang” dan “apa yang pernah menjadi terbaik” sehingga akan ditemukan potensi positif untuk perubahan di masa mendatang.
  3. Membangun mimpi (dream) : Komunitas secara kolektif menggali harapan dan impian untuk komunitas, kelompok, dan keluarga mereka
  4. Memetakan aset (design) : Kata aset digunakan untuk meningkatkan kesadaran komunitas yang ‘sudah kaya dengan aset’ atau memiliki kekuatan yang digunakan saat ini dan dapat digunakan secara lebih baik lagi. Misalnya saja ada yang sudah belajar menjahit, merajut, memasak atau kerajinan tangan tapi tidak ada kesempatan untuk menyalurkannya. Dengan mengetahui aset-aset yang ada, maka komunitas akan mencapai tujuan secara pribadi atau mimpi bersama. Tujuan pemetaan adalah agar komunitas memahami potensi komunitas yang sudah dimiliki dan menyadari dirinya sebagai bagian dari kelompok
  5. Menghubungkan dan memobilisasi aset/perencanaan aksi (deliver/do it) : Tahap ini untuk menyadarkan bahwa banyak jenis aksi yang dapat dilakukan komunitas apabila aset dihubungkan dan dimobilisasi
  6. Monitoring dan evaluasi : Tahap ini untuk mengukur seberapa besar komunitas mampu menemukan dan memobilisasi aset yang mereka miliki secara produktif untuk mencapai tujuan bersama.

Diharapkan ketika penyandang disabilitas mampu melalui tahapan tersebut maka akan terwujud kesejahteraan melalui pengelolaan potensi diri sebagai aset yang dapat memberikan kontribusi bagi komunitas, lingkungan dan negara Indonesia. Sejalan dengan upaya untuk menumbuh-kembangkan potensi dan peran penyandang disabilitas, Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) didirikan pada 23 Februari 1981 di Jakarta. GERKATIN telah terdaftar sejak tahun 1983 dengan nama Indonesian Association for The Welfare of The Deaf, sebagai anggota Federasi Tuna Rungu se-dunia atau World Federation of The Deaf yang bermarkas di Helsinki, Finlandia.

GERKATIN fokus pada pemberdayaan penyandang disabilitas tuna rungu di Indonesia. Dalam profil GERKATIN diperoleh pengertian mengenai tuna rungu atau tuli yaitu seseorang yang kehilangan daya pendengaran sejak kelahiran disebabkan oleh takdir atau faktor lain misal sakit, musibah, kecelakaan, atau lanjut usia). Orang tuna rungu banyak menerima ketertinggalan di berbagai informasi dikarenakan komunikasi verbal mengalami halangan, sehingga dalam proses menuju kemandirian usaha sering mengalami kendala dan diperlukan dukungan dari berbagai pihak terutama institusi pendidikan dan praktisi di bidang kewirausahaan. Dikarenakan dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas memerlukan pendekatan yang lebih mendalam dan intens maka dukungan yang dibutuhkan oleh GERKATIN saat ini lebih pada pendampingan kewirausahaan dengan pendekatan yang berbasis aset, sehingga penyandang disabilitas tuna rungu akan dapat menggali potensi dirinya yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan usaha untuk mencapai kemandirian ekonomi.

Sejalan dengan hal tersebut, maka sebagai upaya untuk menggalakkan potensi dan peran penyandang disabilitas tuna rungu dalam semua dimensi kehidupan terutama dari sisi ketahanan ekonomi melalui kewirausahaan, tim Pengabdian Masyarakat Universitas Amikom Yogyakarta yang diwakili oleh Ibu Laksmindra Saptyawati, SE, MBA akan bekerjasama dengan Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) Yogyakarta dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat dengan judul “Pemberdayaan Ekonomi Disabilitas Melalui Asset Based Approach Menuju Kemandirian Usaha”.

Dilaksanakannya pengabdian pada masyarakat ini bertujuan untuk menggalakkan potensi dan peran penyandang disabilitas tuna rungu di GERKATIN Yogyakarta, terutama dari sisi ketahanan ekonomi melalui kewirausahaan dan memberi nilai tambah di setiap sisi operasional usaha agar dapat menghasilkan output produk yang efisien, tepat guna, dan layak jual sesuai dengan kebutuhan pasar.

Kegiatan acara

Dokumentasi kegiatan